Jika profesi kita maknai sama dengan pekerjaan, maka tidak akan ada bedanya kerja antara seorang dokter, pustakawan, wartawan, guru, dosen dan bentuk-bentuk profesi lainnya. Salah kaprah ini kemudian menjalar hingga ke masalah yang cukup sensitif, yaitu persoalan zakat dalam agama Islam, yaitu penamaan zakat profesi. Meskipun demikian, kedua istilah sedikit banyak saling bersinggungan bahkan acapkali sebuah profesi merupakan salah satu jenis pekerjaan. Namun pada kesempatan kali ini, penulis akan sedikit memberikan ulasan tentang perbedaan antara profesi dengan pekerjaan sekaligus melihat posisi arsiparis dalam ranah profesi beserta kode etiknya.
Perbedaan antara istilah pekerjaan dengan profesi, menurut Tri Maryanto (arsiparis Badan Arsip dan Perpustakaan Jawa Tengah), dalam salah satu materi tentang “Etika Profesi Arsiparis” disebutkan bahwa sebuah profesi menuntut keahlian khusus yang didapatkan melalui pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan khusus. Maknanya yaitu pekerjaan tersebut memerlukan dasar-dasar teori yang sistematis untuk dapat dipraktekkan. Jadi ada keterkaitan antara teori dengan praktek. Maka, dapat kita simpulkan sementara bahwa tidak semua pekerjaan dapat digolongkan sebagai profesi karena tidak semua pekerjaan tersebut memiliki dasar-dasar teori yang sistematis. Selanjutnya dijelaskan beberapa ciri-ciri suatu profesi, antara lain:
1. Pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki diperoleh karena pendidikan, pelatihan dan pengalaman kerja yang panjang, intensif dan menantang;
2. Ada kaidah dan standar moral tinggi dalam setiap aktivitas yang dilakukan profesi, yang diwujudkan dalam kode etik profesi;
3. Mengedepankan pengabdian kepada masyarakat;
4. Izin khusus dalam menjalankan profesinya, atau bisa juga melalui uji sertifikasi;
5. Memiliki organisasi profesi.
Jika kita melihat ciri-ciri dari suatu profesi tersebut, maka dapat dipastikan profesi bertindak tidak hanya melandaskan diri pada prinsip-prinsip keilmuan atau intelektualitasnya, tetapi juga didasari pada kebijakan moral, yaitu melalui kode etik. Melalui kode etik, individu dalam profesi tidak dapat bertindak sekehendak hati sehingga dapat menimbulkan kerugian, baik bagi profesinya maupun masyarakat luas. Kode etik merupakan sekumpulan kaidah, norma tentang tindakan apa yang baik dan buruk, sikap yang wajib dan sikap yang harus dihindari oleh suatu profesi. Kode etik tidak hanya wajib diketahui oleh pemilik profesi, tetapi juga masyarakat luas agar terjadi check and balance serta kesepahaman atas tindakan-tindakan yang dilakukan oleh suatu profesi. Selain itu, dengan didasari etika, diharapkan suatu profesi dapat bertindak secara profesional.
Bagaimana ciri-ciri seorang pegawai, terutama pegawai administrasi, yang profesional?
a. Efisien dalam mengelola pekerjaan, tegas dalam menetapkan sikap, dan memiliki skala prioritas yang dipatuhi;
b. memahami pemakaian software yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan tempat kerja;
c. memahami prosedur dan proses komunikasi tertulis, seperti membuat surat, memproses surat masuk dan keluar, serta menyiapkan laporan;
d. memahami konsep prosedur peralatan dan perlengkapan kerja, online database dan penggunaan beragam multimedia;
e. memahami prosedur dan tata kerja untuk dapat berdiplomasi dengan sesama karyawan maupun pelanggan, baik secara langsung (tatap muka) maupun tidak langsung;
f. mengoptimalkan penggunaan otomasi kantor
g. memanfaatkan dengan baik sumber data yang kredibel, untuk menggali informasi yang dibutuhkan dalam pekerjaan perkantoran;
h. memahami manajemen jasa pelayanan dengan baik;
i. mengetahui pentingnya job campaign dan cara mengumumkannya;
j. menyadari akan adanya peluang karir dan mobilitas pekerjaan dalam kantor;
k. membuka diri dalam pengetahuan dan keterampilan yang baru sesuai kondisi zaman.
Salah satu jenis profesi (jika saat ini pekerjaan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai profesi) yang berada dalam lingkup administrasi adalah arsiparis. Jika kita sejenak merenungi teori tentang etika dan kaitannya dengan suatu profesi, sudahkah para arsiparis kita berada dalam jangkauan sebuah profesi dan memiliki kode etik yang mantap?
Kondisi Singkat Arsiparis
Dalam undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang kearsipan, disebutkan bahwa arsiparis adalah seseorang yang memiliki kompetensi di bidang kearsipan yang diperoleh melalui pendidikan formal dan/atau pendidikan dan pelatihan kearsipan serta mempunyai fungsi, tugas, dan tanggung jawab melaksanakan kegiatan kearsipan. Pengertian ini berbeda dengan pandangan sebelumnya bahwa arsiparis haruslah seorang pegawai negeri sipil (PNS). Namun peraturan yang memiliki ketegasan dalam mengatur sumber daya manusia kearsipan adalah Permenpan RI nomor PER/3/M.PAN/3/2009 tentang Jabatan Fungsional Arsiparis dan Angka Kreditnya. Dalam peraturan tersebut pun hanya berlaku untuk arsiparis yang berada di lingkungan PNS. Hal ini pun terlihat senada dengan beberapa tulisan yang beredar yang meneliti tentang arsiparis yang berada dalam lingkungan PNS, meski masih ditemukan sedikit tulisan yang mengangkat tema arsiparis di luar PNS.
Menurut Herman Setyawan, salah satu arsiparis di Arsip Universitas Gadjah Mada, menyebutkan beberapa pandangan masyarakat Indonesia tentang profesi arsiparis. Profesi arsiparis, bagi sebagian masyarakat, memiliki kesan membosankan, melelahkan, menakutkan serta memiliki pendapatan dan penghargaan yang tidak sebanding dengan tanggung jawab arsiparis. Sebagian lagi mengasumsikan bahwa profesi arsiparis sangat rumit dan terpetak menjadi beberapa jenjang. Dalam hal ini mengacu pada arsiparis yang disebutkan dalam Kepmenpan. Namun, tidak sedikit pula yang merasa senang dan menjadi tertantang dengan profesi arsiparis. Profesi arsiparis di Indonesia dapat dikatakan unik jika dibandingkan dengan negara-negara yang menjadi kiblat kearsipan, seperti Belanda, Kanada dan Australia. Jika di tiga negara tersebut arsiparis dibedakan berdasarkan sifat dan bentuk arsipnya, yaitu Records Manager (untuk arsip dinamis) dan Archivist (untuk arsip dinamis), maka arsiparis di Indonesia merupakan gabungan dari kedua profesi tersebut.
Penggabungan dua jenis profesi tersebut memang terkesan cukup memberatkan bagi individu yang menyandang profesi sebagai arsiparis. Apalagi jika kita melihat tugas dan jenjang profesi arsiparis birokrat yang seperti “kue lapis” bisa jadi akan sangat kesulitan untuk disesuaikan dengan kondisi di luar birokrat. Penulis pernah membedah tentang sumber daya manusia kearsipan dalam Tugas Akhir D3 yang mencoba untuk meringkas jenjang-jenjang tersebut dan dipadankan dengan jenjang arsiparis Merry F. Robek, yaitu:
Penyesuaian tersebut tentu saja disesuaikan dengan tugas arsiparis dan kebutuhan di masing-masing instansi non-PNS sehingga tidak menyulitkan dalam hal pengadaan arsiparis atau pengelola arsip yang profesional. Penelitian yang dilakukan penulis dan kawan-kawan tentu masih perlu pendalaman lebih jauh sehingga dapat diterapkan secara lebih meluas. Namun demikian, yang dapat kita ambil dari penyesuaian teori tentang arsiparis dengan perundang-undangan kearsipan di Indonesia adalah bukan sesuatu yang tidak mungkin sepanjang prinsip-prinsipnya tetap dipegang teguh.
Selain permasalahan tersebut, hal yang menjadi masalah klasik dalam profesi arsiparis yaitu pemahaman bahwa pengelolaan arsip itu dapat dipelajari siapapun, bahkan orang-orang yang lulus SMA pun dapat menjadi pengelola arsip asal terus dilatih dan jam terbang praktek yang tinggi. Benarkah sesederhana itu?Jika kita menilik peran kearsipan dan dinamika dunia kearsipan, baik dalam kacamata akademisi maupun praktisi, maka pemahaman bahwa arsiparis tidak harus menempuh pendidikan tinggi, agaknya perlu dikoreksi. Dalam kacamata akademisi, pengelolaan arsip memang terdapat beberapa tingkat kesulitan yang pada akhirnya menghasilkan variasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan pencipta arsip. Salah satu kesulitan yang menjadi momok dalam dunia kearsipan adalah dalam hal penilaian arsip dalam rangka penyusutan. Penilaian arsip ini tidak hanya melihat satu aspek (yaitu kearsipan) saja, tetapi juga dampak-dampak yang ditimbulkan manakala terjadi permasalahan di kemudian hari. Selain permasalahan pengelolaan, juga permasalahan dalam hal pencitraan arsip, baik melalui pelayanan maupun pameran, yang intinya adalah manajemen komunikasi dan diplomasi yang baik. Tentu saja, kemampuan manajerial tersebut belum dapat dipahami secara mendalam jika kapasitas pendidikan dan profesionalitas arsiparis tidak memadai. Apalagi jika instansi arsiparis tidak selalu mengupgrade arsiparisnya untuk mengikuti berbagai bentuk diklat atau seminar. Interaksi terhadap pengguna juga menjadi salah satu ciri tersirat dari sebuah profesi sehingga muncul sebuah kode etik yang memuat batasan-batasan dalam bertindak.
Arsiparis dan Kode Etik
Dalam ciri-ciri suatu profesi disebutkan adanya kaidah dan standar moral tinggi bagi suatu profesi. Kaidah dan standar moral tersebut mewujud dalam sebuah kode etik. Kode etik adalah norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode etik suatu profesi dibuat dan disepakati dalam suatu wadah organisasi profesi. Organisasi profesi yang menaungi arsiparis, yaitu Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI). Pada mulanya, organisasi profesi kearsipan pertama yang adalah AAI (Asosiasi Arsiapris Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1998. Tetapi dalam pekembangannya tidak didapati keaktifan dan dinamika dalam AAI sehingga dianggap mati suri. Kemudian, pada tahun 2004, dibentuklah APKI (Asosiasi Profesi Kearsipan Indonesia). Ada salah satu alasan menarik yang menjadi latar mengapa tidak disebut arsiparis, tetapi profesi kearsipan, yaitu karena tidak semua orang yang berprofesi di bidang kearsipan tertarik dengan istilah arsiparis. Hal ini menjadi logis manakala saat itu belum direvisinya undang-undang kearsipan yang didalamnya menyebutkan bahwa arsiparis adalah pegawai negeri sipil. Selain itu, di beberapa perusahaan tertentu, istilah pengelola arsip juga tidak disebut sebagai arsiparis, tetapi salah satunya disebut sebagai document controller, yang memiliki prinsip kerja tidak jauh berbeda dengan arsiparis. Namun, pada tahun 2005, diselenggarakan kongres Asosiasi Arsiparis Indonesia (AAI). Hingga saat ini, nomenklatur AAI yang kemudian disahkan menjadi organisasi profesi arsiparis.
Salah satu tantangan dari AAI adalah menciptakan suatu kode etik arsiparis.Kode etik profesi yaitu sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional. Maka, kode etik dapat menjadi instrumen pengontrol profesi, baik dari dalam profesi maupun oleh masyarakat. Masyarakat juga dapat memahami suatu profesi dengan melihat pada kode etiknya.Kode etik arsiapris baru dapat diwujudkan dalam kongres AAI pada tahun 2010. Adapun kode etik arsiparis yang berhasil disusun yaitu:
1. Arsiparis Indonesia bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Arsiparis Indonesia setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
3. Arsiparis Indonesia harus jujur & bertanggungjawab, bersemangat untuk meningkatkan kompetensi, profesionalitas, komitmen, dedikasi dan integritas dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
4. Arsiparis Indonesia harus mempertahankan dan melindungi otentisitas, reliabilitas, legalitas dan integritas dari suatu arsip.
5. Arsiparis Indonesia bertanggungjawab atas pengelolaan arsip, mulai dari penciptaan, penggunaan & pemeliharaan, penyusutan, penilaian & akuisisi, deskripsi, pelestarian, sampai dengan akses dan pemanfaatan arsip demi kemaslahatan bangsa.
Jika kita lihat secara sepintas, kode etik tersebut dapat dikatakan idealis. Namun, jika kita mencoba cermati dan bandingkan dengan kode etik lainnya, seperti kode etik pustakawan (sebagai salah satu bidang yang serumpun), maka terlihat banyak yang perlu segera direvisi. Berikut penulis sajikan kode etik pustakawan:
BAB I
KEWAJIBAN PUSTAKAWAN
1. Kewajiban Kepada Bangsa dan Negara
Pustakawan menjaga martabat dan moral serta mengutamakan pengabdian dan tanggung jawab kepada instansi tempat bekerja, Bangsa dan Negara
2. Kewajiban Kepada Masyarakat
a. Pustakawan melaksanakan pelayanan perpustakaan dan informasi kepada setiap pengguna secara cepat, tepat, dan akurat sesuai dengan prosedur pelayanan perpustakaan, santun, dan tulus.
b. Pustakawan melindungi kerahasian dan privasi menyangkut informasi yang ditemui atau dicari dan bahan pustaka yang diperiksa atau dipinjam pengguna perpustakaan.
c. Pustakawan ikut ambil bagian dalam kegiatan yang diselenggarakan masyarakat dan lingkungan tempat bekerja, terutama yang berkaitan dengan pendidikan, usaha sosial dan kebudayaan.
d. Pustakawan berusaha menciptakan citra perpustakaan yang baik di mata masyarakat.
3. Kewajiban Kepada Profesi
a. Pustakawan melaksanakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Ikatan Pustakawan Indonesia dan Kode Etik Pustakawan Indonesia.
b. Pustakawan memegang prinsip kebebasan intelektual dan menjauhkan diri dari usaha sensor sumber bahan perpustakaan dan informasi.
c. Pustakawan menyadari dan menghormati hak milik intelektual yang berkaitan dengan bahan perpustakaan dan informasi.
4. Kewajiban Kepada Rekan Sejawat
Pustakawan memperlakukan rekan sekerja berdasarkan sikap saling menghormati, dan bersikap adil kepada rekan sejawat serta berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka.
5. Kewajiban Kepada Pribadi
a. Pustakawan menghindarkan diri dari menyalahgunakan fasilitas perpustakaan untuk kepentingan pribadi, rekan sekerja dan pengguna tertentu.
b. Pustakawan dapat memisahkan antara kepentingan pribadi dan kegiatan profesional kepustakawanan.
c. Pustakawan berusaha meningkatkan dan memperluas pengetahuan, kemampuan diri dan profesionalisme.
BAB II
SANKSI
Pustakawan yang melanggar AD/ART IPI dan Kode Etik Pustakawan Indonesia, dikenai sanksi sesuai pelanggarannya, dan dapat diajukan ke Dewan Kehormatan Ikatan Pustakawan Indonesia untuk keputusan lebih lanjut.
Kode Etik ini berlaku 3 bulan setelah ditetapkan.
Posisi arsiparis yang cukup vital dalam pengelolaan dokumen hasil suatu kegiatan, maka diperlukan suatu kode etik yang lebih detail dan disertai dengan sanksi tegas terhadap pelanggaran kode etik. Bukan tidak mungkin jika suatu ketika terjadi kasus penghilangan dokumen yang dilakukan oleh institusi pencipta padahal dokumen tersebut dibutuhkan sebagai media transparansi informasi publik. Maka, yang harus disoroti pertama kali seharusnya adalah sistem kearsipan berikut sumber daya manusia pengelolanya. Kode etik juga menjadi payung pelindung bagi arsiparis supaya terhindar dari kegiatan yang “memaksa”nya melakukan tindakan yang jauh dari sikap profesionalisme. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan evaluasi kode etik arsiparis, antara lain:
1. Tidk adanya ketegasan tentang hal-hal apa saja yang harus dilakukan dan harus dihindari
2. Belum memperhatikan kefokusan kerja antara arsiparis di lembaga kearsipan dengan non-lembaga kearsipan
3. Perlu diperhatikan situasi dan kondisi arsiparis di luar PNS
4. Tidak menjelaskan secara detail interaksi arsiparis dengan pengguna, sesama arsiparis dan organisasi profesi
Kesimpulan
Jika arsiparis sudah dikatakan sebagai suatu profesi dalam masyarakat, maka sudah seharusnya arsiparis mulai merapikan kinerja dan pencitraan diri di tengah masyarakat. Perapian tersebut tidak hanya fokus pada diri pribadi arsiparis,namun juga pada organisasi profesi serta kode etik profesi. AAI, dalam perumusan kode etik perlu merujuk pada beberapa kode etik profesi serumpun, baik dari dalam maupun luar negeri. Sehingga mampu dihasilkan suatu kode etik yang berkualitas dan diharapkan menciptakan SDM kearsipan yang handal dan profesional.
Referensi
Herman Setyawan dalam Membangun Pribadi Arsiparis: Sebuah Pengalaman Pribadi. Buletin Kearsipan “Khazanah” volume 3, nomor 1, tahun 2010
Machmoed Effendhie dalam Arsip dan Arsiparis Indonesia (Sebuah Catatan Kecil). Buletin Kearsipan “Khazanah” volume 1, nomor 1, tahun 2008
Modul Mata Kuliah Etika dan Profesi Arsiparis oleh Tri Maryanto
Linna Winarni, dkk. Peranan Sumber Daya Manusia Bidang Kearsipan sebagai Kebutuhan dalam Penerapan Manajemen Kearsipan di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Percontohan Yogyakarta. 2010. Yogyakarta: Fak. Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.